Sejak Revolusi Industri, sektor industri—mulai dari pertambangan, pertanian
skala besar, perkebunan, hingga manufaktur—telah menjadi tulang punggung
peradaban manusia. Industri adalah mesin yang mengubah sumber daya alam menjadi
infrastruktur, teknologi, dan kebutuhan dasar yang menopang kehidupan modern:
baja untuk jembatan dan gedung pencakar langit; energi yang menggerakkan rumah
sakit dan sekolah; pupuk yang menjamin ketahanan pangan; dan bahan baku untuk
komunikasi global. Tanpa kontribusi vital ini, kualitas hidup dan kemajuan
kolektif yang kita nikmati saat ini mustahil tercapai.
Kondisi Kekinian: Polarisasi dengan Batas Tegas 💥 Indonesia, sebagai negara
kepulauan dengan kekayaan alam yang melimpah, kini berdiri di persimpangan
jalan. Di satu sisi, ada desakan tak terhindarkan dari sektor industri sebagai
mesin penggerak PDB dan pencipta lapangan kerja. Di sisi lain, ada suara yang
semakin keras dari para pegiat, masyarakat adat, dan ilmuwan yang menuntut
penghentian laju kerusakan lingkungan, dari deforestasi hingga peningkatan
bencana hidrometeorologi. Polarisasi ini telah menciptakan batas yang tegas:
Lingkungan VS Ekonomi, seolah-olah keduanya adalah dua kutub yang mustahil
dipertemukan. Sering kali, upaya konservasi dilihat sebagai penghambat kemajuan,
sementara kegiatan industri yang merusak dipandang sebagai harga yang harus
dibayar demi kemakmuran jangka pendek. Akibatnya, masyarakat terbelah tanpa
ruang diskusi tentang bagaimana pertumbuhan dan kelestarian dapat berjalan
beriringan.
Inti Konflik: Dominasi Modal dan Kelemahan Penegakan Hukum.
Polarisasi ini diperkuat oleh mekanisme kekuasaan yang seringkali mengabaikan
batasan-batasan ekologis. Di sinilah letak peran ganda Modal Besar dan
Birokrasi. Industri—dengan kekuatan finansialnya—memiliki daya tawar yang sangat
tinggi. Investasi besar selalu membawa janji pertumbuhan ekonomi instan.
Sayangnya, modal besar dan teknologi canggih yang dimiliki oleh industri—yang
seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menerapkan standar
lingkungan tertinggi, konservasi, dan mitigasi bencana—justru dimanfaatkan
sebaliknya. Dana melimpah dan alat muktahir justru menjadi bancakan oknum
birokrasi untuk memperkaya diri dan kelompok, melalui penerbitan izin yang
melanggar hukum, penyusunan AMDAL yang direkayasa, dan membiarkan kerusakan
lingkungan demi keuntungan cepat. Ketika modal dan birokrasi berkolaborasi dalam
praktik koruptif yang tidak akuntabel, suara-suara lingkungan teredam. Inilah
akar polarisasi yang membuat jurang antara "pro-lingkungan" dan "pro-ekonomi"
semakin lebar.
Jembatan Solusi: Mengintegrasikan Tiga Pilar Tata Kelola
Mengakhiri dikotomi Lingkungan VS Ekonomi tidak bisa diwujudkan tanpa
pengakuan jujur: masalah utamanya bukan pada industrinya, melainkan pada tata
kelola koruptif yang merampok potensi industri untuk menjadi agen keberlanjutan.
Untuk membalikkan keadaan dan menyatukan kedua kutub, Indonesia harus
mengimplementasikan tiga pilar strategis:
1. Mereformasi Peran Birokrasi sebagai
Wasit Ekologi
Birokrasi harus bertransformasi dari sekadar fasilitator
investasi menjadi Wasit Ekologi yang tegas dan tidak bisa disuap. Hal ini
dimulai dengan penegakan Rencana Tata Ruang (RTRW) secara mutlak. Peta-peta
wilayah lindung harus menjadi garis merah yang tidak bisa dinegosiasikan. Oknum
yang terlibat dalam deal perizinan ilegal harus dihukum berat dan transparan,
menjadikan sanksi sebagai disinsentif yang nyata dan efektif.
2. Mengarahkan
Modal ke Investasi Hijau Berkelanjutan.
Pemerintah wajib menciptakan insentif
yang kuat bagi perusahaan yang benar-benar menerapkan standar ESG
(Environmental, Social, and Governance) yang ketat dan menggunakan teknologi
canggih untuk tujuan konservasi, alih-alih perusakan. Dengan menerapkan pajak
atau retribusi lingkungan yang tinggi bagi entitas perusak, kita menjadikan
Investasi Hijau lebih menguntungkan, sehingga modal dengan sendirinya akan
berorientasi pada keberlanjutan.
3. Akuntabilitas dan Transparansi Publik Penuh
Untuk memutus mata rantai korupsi antara modal dan birokrasi, transparansi
total adalah kuncinya. Data perizinan, hasil pengawasan, alokasi dana
rehabilitasi, hingga pemanfaatan teknologi canggih harus dibuka seluas-luasnya
kepada publik, LSM, dan akademisi. Masyarakat sipil harus diberdayakan sebagai
co-enforcer yang mengawasi kepatuhan industri, sehingga praktik "bancakan" oleh
oknum birokrasi akan lebih mudah terdeteksi dan dihentikan. Melalui implementasi
tegas dari ketiga pilar ini, kita tidak lagi memilih antara Lingkungan ATAU
Ekonomi. Kita menyatukannya dalam Ekonomi yang Berkelanjutan, di mana
pertumbuhan diukur bukan hanya dari PDB, tetapi dari ketahanan ekologi dan
keadilan sosial yang menjamin masa depan bangsa.

