Sabtu, 13 Desember 2025

🌍 Memecah Dilema Pembangunan Berkelanjutan "Mencari Keseimbangan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Ekologi"

Industri sebagai Tulang Punggung Peradaban.
Sejak Revolusi Industri, sektor industri—mulai dari pertambangan, pertanian skala besar, perkebunan, hingga manufaktur—telah menjadi tulang punggung peradaban manusia. Industri adalah mesin yang mengubah sumber daya alam menjadi infrastruktur, teknologi, dan kebutuhan dasar yang menopang kehidupan modern: baja untuk jembatan dan gedung pencakar langit; energi yang menggerakkan rumah sakit dan sekolah; pupuk yang menjamin ketahanan pangan; dan bahan baku untuk komunikasi global. Tanpa kontribusi vital ini, kualitas hidup dan kemajuan kolektif yang kita nikmati saat ini mustahil tercapai.
Kondisi Kekinian: Polarisasi dengan Batas Tegas 💥 
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan alam yang melimpah, kini berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada desakan tak terhindarkan dari sektor industri sebagai mesin penggerak PDB dan pencipta lapangan kerja. Di sisi lain, ada suara yang semakin keras dari para pegiat, masyarakat adat, dan ilmuwan yang menuntut penghentian laju kerusakan lingkungan, dari deforestasi hingga peningkatan bencana hidrometeorologi. Polarisasi ini telah menciptakan batas yang tegas: Lingkungan VS Ekonomi, seolah-olah keduanya adalah dua kutub yang mustahil dipertemukan. Sering kali, upaya konservasi dilihat sebagai penghambat kemajuan, sementara kegiatan industri yang merusak dipandang sebagai harga yang harus dibayar demi kemakmuran jangka pendek. Akibatnya, masyarakat terbelah tanpa ruang diskusi tentang bagaimana pertumbuhan dan kelestarian dapat berjalan beriringan.


Inti Konflik: Dominasi Modal dan Kelemahan Penegakan Hukum.
Polarisasi ini diperkuat oleh mekanisme kekuasaan yang seringkali mengabaikan batasan-batasan ekologis. Di sinilah letak peran ganda Modal Besar dan Birokrasi. Industri—dengan kekuatan finansialnya—memiliki daya tawar yang sangat tinggi. Investasi besar selalu membawa janji pertumbuhan ekonomi instan. Sayangnya, modal besar dan teknologi canggih yang dimiliki oleh industri—yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menerapkan standar lingkungan tertinggi, konservasi, dan mitigasi bencana—justru dimanfaatkan sebaliknya. Dana melimpah dan alat muktahir justru menjadi bancakan oknum birokrasi untuk memperkaya diri dan kelompok, melalui penerbitan izin yang melanggar hukum, penyusunan AMDAL yang direkayasa, dan membiarkan kerusakan lingkungan demi keuntungan cepat. Ketika modal dan birokrasi berkolaborasi dalam praktik koruptif yang tidak akuntabel, suara-suara lingkungan teredam. Inilah akar polarisasi yang membuat jurang antara "pro-lingkungan" dan "pro-ekonomi" semakin lebar. 

Jembatan Solusi: Mengintegrasikan Tiga Pilar Tata Kelola
Mengakhiri dikotomi Lingkungan VS Ekonomi tidak bisa diwujudkan tanpa pengakuan jujur: masalah utamanya bukan pada industrinya, melainkan pada tata kelola koruptif yang merampok potensi industri untuk menjadi agen keberlanjutan. Untuk membalikkan keadaan dan menyatukan kedua kutub, Indonesia harus mengimplementasikan tiga pilar strategis: 
1. Mereformasi Peran Birokrasi sebagai Wasit Ekologi
Birokrasi harus bertransformasi dari sekadar fasilitator investasi menjadi Wasit Ekologi yang tegas dan tidak bisa disuap. Hal ini dimulai dengan penegakan Rencana Tata Ruang (RTRW) secara mutlak. Peta-peta wilayah lindung harus menjadi garis merah yang tidak bisa dinegosiasikan. Oknum yang terlibat dalam deal perizinan ilegal harus dihukum berat dan transparan, menjadikan sanksi sebagai disinsentif yang nyata dan efektif. 
2. Mengarahkan Modal ke Investasi Hijau Berkelanjutan.
Pemerintah wajib menciptakan insentif yang kuat bagi perusahaan yang benar-benar menerapkan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) yang ketat dan menggunakan teknologi canggih untuk tujuan konservasi, alih-alih perusakan. Dengan menerapkan pajak atau retribusi lingkungan yang tinggi bagi entitas perusak, kita menjadikan Investasi Hijau lebih menguntungkan, sehingga modal dengan sendirinya akan berorientasi pada keberlanjutan. 
3. Akuntabilitas dan Transparansi Publik Penuh 
Untuk memutus mata rantai korupsi antara modal dan birokrasi, transparansi total adalah kuncinya. Data perizinan, hasil pengawasan, alokasi dana rehabilitasi, hingga pemanfaatan teknologi canggih harus dibuka seluas-luasnya kepada publik, LSM, dan akademisi. Masyarakat sipil harus diberdayakan sebagai co-enforcer yang mengawasi kepatuhan industri, sehingga praktik "bancakan" oleh oknum birokrasi akan lebih mudah terdeteksi dan dihentikan. Melalui implementasi tegas dari ketiga pilar ini, kita tidak lagi memilih antara Lingkungan ATAU Ekonomi. Kita menyatukannya dalam Ekonomi yang Berkelanjutan, di mana pertumbuhan diukur bukan hanya dari PDB, tetapi dari ketahanan ekologi dan keadilan sosial yang menjamin masa depan bangsa.

Sabtu, 06 September 2025

 

Menyusuri Harmoni Budaya dan Alam di Desa Maria, Sebagai Suatu Potensi Ekowisata yang Layak Dikembangkan

 

Jika Anda mencari destinasi wisata yang tidak hanya indah dipandang mata tetapi juga sarat makna, Desa Maria di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, bisa menjadi jawabannya. Desa ini bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang hidup yang memadukan budaya, alam, dan kebersamaan warganya.

Desa Maria terletak di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini berada di lereng perbukitan Wawo yang sejuk, sekitar 14 kilometer arah timur dari Kota Bima. Secara administratif, Desa Maria merupakan bagian dari kawasan pegunungan yang terkenal dengan rumah adat Uma Lengge dan tradisi masyarakat Wawo yang masih kental.


🚗 Cara Mencapai Desa Maria: Dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima → perjalanan sekitar 45 menit menggunakan mobil atau sepeda motor menuju arah timur ke Kecamatan Wawo. Dari Kota Bima → perjalanan darat sekitar 30–40 menit dengan jalur berkelok menanjak, melewati perbukitan hijau yang indah. Transportasi Umum → tersedia angkutan desa (bemo atau minibus lokal) dari Kota Bima menuju Wawo, meski jadwalnya tidak terlalu rutin. Disarankan menggunakan kendaraan sewa atau pribadi agar lebih fleksibel.

Ikon utama Desa Maria adalah Uma Lengge, rumah adat berbentuk panggung dengan atap runcing yang sejak ratusan tahun lalu berdiri kokoh di tengah desa. Setiap tiang dan atapnya bercerita tentang kearifan orang Wawo dalam menghadapi alam. Menginjakkan kaki di sana serasa kembali ke masa lalu, di mana gotong royong menjadi nafas kehidupan.

Uma Lengge

“Tradisi lokal di Desa Maria masih berdenyut kuat dalam kehidupan sehari-hari. Atraksi budaya seperti Makatua, Mpaa Manca, dan Mpaa Ntumbu bukan hanya tontonan seremonial, tetapi juga wujud nyata dari kearifan dan kebersamaan masyarakat Wawo. Makatua, misalnya, adalah ritual yang sarat makna kritik sosial dan penghormatan pada pemimpin,  Sementara Mpaa Manca—permainan tradisional yang mengandalkan kelincahan dan ketahanan fisik dan mental—menjadi ajang adu keterampilan sekaligus hiburan rakyat yang syarat nilai budaya. Adapun Mpaa Ntumbu menampilkan kekuatan dan semangat solidaritas antarwarga dalam bentuk adu ketangkasan yang penuh sportivitas. Bagi wisatawan, menyaksikan atau bahkan mencoba ikut serta dalam atraksi ini memberikan pengalaman yang berbeda: budaya di Desa Maria bukanlah sesuatu yang dipoles untuk wisata semata, melainkan tradisi yang masih hidup, dijalankan dengan tulus, dan diwariskan lintas generasi.”

Gambar Mpaa Manca


*“Alam Desa Maria pun tak kalah mempesona. Di tengah perbukitan Wawo, terdapat pasanggerahan Oi Wobo, sebuah sumber air alami yang jernih dan sejuk. Tempat ini sejak lama menjadi permandian serta ruang pertemuan warga, baik untuk mandi, mencuci, maupun sekadar melepas penat sambil bercengkerama. Kini, Oi Wobo juga berkembang menjadi kolam renang pemandian umum yang dikelola oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat setempat. Wisatawan dapat menikmati kesegaran air pegunungan sambil beristirahat dengan tenang. Untuk menunjang kenyamanan, di Pasanggerahan  Oi Wobo yang merupakan permandian yang dikelola oleh pemerintah ini telah tersedia fasilitas sederhana seperti area bilas, warung makan, hingga penginapan bagi wisatawan yang ingin bermalam lebih lama. Suasananya teduh, suara gemericik air berpadu dengan rimbun pepohonan, menghadirkan ketenangan khas pedesaan yang sulit ditemukan di perkotaan.

Pasanggerahan Oi Wobo

Tak jauh dari sana, hamparan sawah terasering So Diwu Wau menyuguhkan panorama hijau berundak yang begitu indah dipandang mata. Saat musim tanam, petak-petak sawah tampak berkilau seperti cermin raksasa yang memantulkan langit, sementara pada musim panen, lautan padi menguning menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan jiwa. Rimbunnya pepohonan kelapa menambah kesejukan dan kesegaran lokasi ini. Bagi wisatawan yang ingin lebih dari sekadar berkunjung, So Diwu Wau menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai ekofarm stay. Bayangkan pengalaman menginap di tengah sawah, bangun pagi dengan udara segar, lalu belajar langsung cara bercocok tanam bersama petani lokal. Inilah kesempatan untuk merasakan denyut kehidupan desa secara utuh—alami, sederhana, namun penuh makna.”*

Potensi ini bukan tanpa tantangan. Aks es masih terbatas, promosi belum gencar, dan fasilitas sederhana. Tapi justru di situlah letak daya tariknya: wisata di Desa Maria menawarkan kesederhanaan, keaslian, dan keramahan yang tulus.

Ini adalah cerita indah kekayaan alam dan kekayaan budaya masyarakat yang bisa dikelola menjadi suata sestem Ekowisata Berkelanjutan dan terintegrasi. Kekayaan alam dan budaya ini sangat cocok dengan karakter wisata minat khusun berupa Ekowisata yang menekankan pada konsep  4A ; Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancilliary.

Atraksi berkaitan dengan apa yang bisa dilihat (what to see), apa yang bisa dilakukan (what to do), apa yang bisa dibeli (what to buy) di suatu destinasi wisata sehingga bisa menjadi unsur daya tarik dan magnet bagi kedatangan wisatawan di suatu lokasi wisata. Bagaimana kedepan kita meningkatkan keempat potensi wisata Uma Lengge, Oi Wobo dan diwu Wawu serta atraksi adat yang medukung ini sehingga menarik layak untuk dilihat, memiliki nilai edukasi serta hasil hasil kerajinan lokal khas kita dapat dibeli. Aksesibilitas merupakan sarana dan infrastruktur menuju destinasi. Perbaikan akses dan kemampuan menjaga ketertiban dan keamanan di lokasi wisata akan menjadi nilai penting dalam hal ini. Ini sejalan dengan masyarakat Wawo yang terkenal dengan keramahn dan keamanan daerahnya. Amenitas merupakan segala fasilitas pendukung destinasi wisata. Fasilitas penginapa dan lain2 memang masih kurang, tapi itu harus menjadi tantangan kita kedepan dalam pengembangan wisata di Desa Maria. Ancilliary merupakan lembaga pendukung dalam pelaksaaan parawisata, baik Pemerintah maupun kelompok masyarakat dan investor harus bisa bersinergi dalam pengembangan Pariwisata yang ramah lingkungan.

Atraksi Makatua


Namun ini bukalan buah matang yang bisa langsung dipetik hasilnya, perlu suatu pengembangan yang kolaboratif, bentuk kerjasama lintas sektor antara pemerintah, pengelola, masyarakat dan mungkin saja Investor Swasta dalam mengembangkan potensi ini. Perlu dibuat suatu kerangka pengelolaan yang menarik, promosi yang signifikan, ivent2 yang meriah dan menarik sehingga Potensi ini tidak hanya menjadi sebatas potensi, tapo benar benar menjadi sesuatu yang dapat menjadi peningkatan ekonomi masyarakat setempat.

Sejauh ini, Pokdarwis Desa Maria sebagai tulang punggung pengelolaan Uma Lengge khususnya telah sangat bekerja keras dalam pengembangan dan pengelolaan wisata di desa Maria. Akan tetapi tantangan kedepan adalah bagaiman wisata tersebut bisa berkelanjutan, berdayasaing, dan memberikan hasil ekonomi yang signifikan untuk masyarakat. Perlu pengelolaan yang lebih profesional sehingga potensi besar wisata ini bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan, tapi bisa berkembang menjadi suatu lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat. 

Atraksi Mpaa Ntumbu

Ke depan, masyarakat Desa Maria tidak boleh berjalan sendiri. Mereka bersama pemerintah daerah dan pihak swasta jika memungkinkan, harus mulai merancang berbagai program pengembangan ekowisata. Mencoba menggelar Festival budaya tahunan sebagai panggung untuk menampilkan atraksi tradisi seperti Makatua, Mpaa Manca, dan Mpaa Ntumbu, sehingga wisatawan punya alasan kembali setiap tahunnya. Paket edukasi Uma Lengge harus bisa memberi kesempatan bagi pelajar maupun wisatawan untuk belajar langsung tentang sejarah, filosofi, dan kearifan rumah adat yang ikonik itu. Sementara itu, promosi digital harus dimasivekan, sehingga keindahan Desa Maria dapat dikenal lebih luas, menyentuh wisatawan yang mungkin belum pernah mendengar nama Desa Maria sebelumnya.

Konsep yang harus dibangun ini bukanlah wisata biasa, melainkan ekowisata—sebuah pendekatan pariwisata yang berusaha menyeimbangkan empat hal: konservasi alam dan budaya, edukasi, keterlibatan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Artinya, setiap kegiatan wisata di Desa Maria diupayakan tidak merusak lingkungan, tetap menghargai kearifan lokal, dan pada saat yang sama memberi manfaat ekonomi bagi warga.

Semua langkah ini diharapkan agar ekowisata di Desa Maria tetap berpijak pada tiga pijakan utama: menjaga alam sebagai warisan kehidupan, merawat budaya sebagai identitas, dan menyejahterakan masyarakat sebagai tujuan akhir. Dengan begitu, wisata di Desa Maria tidak hanya menghadirkan pengalaman berkunjung, tetapi juga membangun masa depan yang berkelanjutan bagi warganya.”*

 

Jadi, jika suatu hari Anda berkunjung ke Bima, jangan lewatkan Desa Maria. Di sana, Anda tidak hanya jadi wisatawan, tetapi juga bagian dari cerita tentang harmoni manusia, budaya, dan alam.